Madinatul Buuth al Islamiyah atau dikenal juga sebagai Cite de Mission Islamique, saya menemukan kenangan dalam perjalanan studi pada 32 tahun lalu sebagai mahasiswa al Azhar al Syarif. Asrama ini menjadi rumah bagi mahasiswa dari berbagai negara: Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Dalam keberagaman ini, kami berbagi kehidupan, bahasa, dan budaya, membentuk ikatan yang sangat kuat.
Hidup di Asrama Madinatul Buuth adalah pengalaman yang mengubah menginspirasi, Meskipun kami pada masa itu memiliki keterbatasan dalam materi, kami mendpatkan suatu kenangan kebahagiaan dalam kesederhanaan yang tak terlupakan.
Meskipun kami berasal dari latar belakang yang berbeda, solidaritas di antara kami melampaui perbedaan budaya dan bahasa. Kami belajar untuk saling menghargai dan mendukung satu sama lain dalam perjalanan akademis kami.
Sehingga hampir semua kami masing hampir bisa pada masa itu bertutur, bahasa prancis, turki, iran, italia dll dan tidak mungkin terlupakan sampai saat ini.
Salah satu tantangan besar adalah akses transportasi yang terbatas karena keterbatasan kamampuan material kami, Terkadang, kami harus berjalan kaki tiap pagi untuk kuliyah dari asrama cite de misson islamic sampai kampus universite du alazhar yang cukup jauh jaraknya, itu kami lakukan selama berbulan-bulan menuju perkuliyahan, karena untuk berlangganan kerneh bus berlangganan pelajar tidak mampu kami bayar,
Tanyakanlah kepada kawan kami, Farid Sulistiyo, Ali Syarqowi dkk. Namun, perjalanan itu mengajarkan kami ketekunan dan tekad. Setiap langkah yang kami ambil adalah bukti komitmen kami untuk mencapai ilmu pengetahuan.
Kami terinspirasi pelajaran mutalaah kelas lima waktu di Gontor yang judulnya : Khutbatu Thariq Qabla Futuhil Andalus;
Dalam cerita itu komandan dengan semangat yang membara, membakar kapal2 yang di pakai menyebrang ke pesisir Spanyol, hidup atau mati, dan pada waktu itu kami sadar betul, kami belum ada apa2nya dibandingkan tentara yang membebaskan Andalusia tersebut
Jadi pelajaran muthalaah sangat menginspirasi bahwa dalam keadaan apapun tidak boleh mengatakan mati aku, yang ada adalah hidup
Kami juga sampai pernah menerima zakat fitrah dan zakat mal, dari senior-senior kami masyarakan indonesia waktu itu, kami semua, Farid Sulistio, Ali Syarkowi, dan muhammad Thoha Anwar, tidak pernah meneteskan satu tetes air mata karena ini, namun bantuan zakat dan shadakah dari saudara-sudara senior kami itu tentu saja sangat membantu kami melewati masa-masa sulit.
Bantuan tersebut tidak hanya sekadar bantuan finansial, tetapi juga simbol persatuan dan persaudaraan Islam dalam mendukung sesama.
Meskipun hidup di Asrama Madinatul Buuth kadang-kadang penuh tantangan, kami berhasil menyelesaikan studi tepat waktu. Keberhasilan ini tidak hanya milik individu, tetapi merupakan prestasi bersama komunitas kami. Kebersamaan dan semangat gotong royong membantu kami mengatasi segala rintangan.
TIga puluh dua tahun yang telah berlalu itu, bukan hanya ilmu pengetahuan yang kami dapatkan, tetapi juga persahabatan sejati yang akan selalu kami kenang sampai sekarang, kami masih sering komtak kawan-kawan dari somalia, waga dugu, nigeria, chechnya, dll
Berbagi kisah hidup, canda tawa, dan kesulitan bersama-sama membuat perjalanan di Asrama Madinatul Buuth begitu berarti.
Asrama ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi rumah bagi jiwa-jiwa yang haus ilmu pemgetahuan dan kebijaksanaan. Saya merasa beruntung dapat menjadi bagian dari komunitas yang luar biasa ini, di mana setiap langkah kecil dihargai dan diakui. Asrama Madinatul Buuth al Islamiyah bukan hanya tempat belajar, tetapi tempat di mana hati dan pikiran berkembang.
Dengan penuh rasa syukur, saya meninggalkan Asrama Madinatul Buuth dengan bekal ilmu dan pengalaman yang tak ternilai harganya. Perjalanan panjang ini telah membentuk saya menjadi individu yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih penuh pengertian. Asrama ini bukan hanya bagian dari masa lalu saya, tetapi bagian dari identitas dan perjalanan hidup yang tak terlupakan.